Ketika menyampaikan berita baik kepada sang editor bahwa saya telah sukses jaya menyelesaikan tugas membaca tulisan 'berat' ini, tak pernah terbersit sedikitpun dalam benak saya akan ditodong komentar tentang novel ini. Oh, tunggu dulu. Saya jelas awam sastra. Apalagi tulisan yang bagi saya agung bin klasik ini. Secara, saya termasuk penggemar karya bergaya metropop. Dilema batin yang saya yakin pun akan melanda setiap insan muda metropolitan nan gaul seperti saya, jika dihadapkan pada kasus yang sama. So, ini pe-er (Pekerjaan Rumah) banget deh.
Ditambah lagi waktu pertama disodorkan buku ini saya sempat dibuat 'down' dengan pesan sponsor,"Ini sastra terjemahan terbaik sepanjang masa loh, Ling. Digarap dengan proses editing yang mengerahkan seluruh kemampuan terbaik saya." Gitu kata sang editor dengan narsisnya. Dan saat itu saya cuma bisa nyengir pasrah. Kalah narsis. Tragis. Mati gaya. Halah..halah...
Butuh kurang lebih 2 minggu sampai saya berani menyatakan diri selesai membaca novel sastra yang melalui Penerbit Dolphin kini lahir dalam judul Pengantin Surga. Dan, butuh ribuan menit untuk bisa menjawab todongan sang editor naskah dahsyat ini. Maaf saya rada lebay, pemirsa. Tapi sumpah deh, saya memang tidak berhasil menemukan 'keganjilan' yang biasa ditemui pada naskah-naskah terjemahan umumnya. Rasanya seperti Nizami Ganjavi sendiri yang menuliskannya kembali dalam Bahasa Indonesia..!! Tapi masalahnya, kapan Ganjavi belajar Bahasa Indonesia? Kadang entah kenapa saya sampai yakin, Ganjavi-lah yang kerawuhan Salahuddien Gz sang editor, ketika menulis kisah ini. Itu sebelum saya sadar sudah mengacaukan rekam sejarah dan dimensi waktu dalam otak saya.