Senin, 02 Juli 2012

Pengantin Surga : Spiritualisme dalam Metafora Percintaan Pecinta dan Yang Terkasih



Ketika menyampaikan berita baik kepada sang editor bahwa saya telah sukses jaya menyelesaikan tugas membaca tulisan 'berat' ini, tak pernah terbersit sedikitpun dalam benak saya akan ditodong komentar tentang novel ini. Oh, tunggu dulu. Saya jelas awam sastra. Apalagi tulisan yang bagi saya agung bin klasik ini. Secara, saya termasuk penggemar karya bergaya metropop. Dilema batin yang saya yakin pun akan melanda setiap insan muda metropolitan nan gaul seperti saya, jika dihadapkan pada kasus yang sama. So, ini pe-er (Pekerjaan Rumah) banget deh. 

Ditambah lagi waktu pertama disodorkan buku ini saya sempat dibuat 'down' dengan pesan sponsor,"Ini sastra terjemahan terbaik sepanjang masa loh, Ling. Digarap dengan proses editing yang mengerahkan seluruh kemampuan terbaik saya." Gitu kata sang editor dengan narsisnya. Dan saat itu saya cuma bisa nyengir pasrah. Kalah narsis. Tragis. Mati gaya. Halah..halah... 

Butuh kurang lebih 2 minggu sampai saya berani menyatakan diri selesai membaca novel sastra yang melalui Penerbit Dolphin kini lahir dalam judul Pengantin Surga. Dan, butuh ribuan menit untuk bisa menjawab todongan sang editor naskah dahsyat ini. Maaf saya rada lebay, pemirsa. Tapi sumpah deh, saya memang tidak berhasil menemukan 'keganjilan' yang biasa ditemui pada naskah-naskah terjemahan umumnya. Rasanya seperti Nizami Ganjavi sendiri yang menuliskannya kembali dalam Bahasa Indonesia..!! Tapi masalahnya, kapan Ganjavi belajar Bahasa Indonesia? Kadang entah kenapa saya sampai yakin, Ganjavi-lah yang kerawuhan Salahuddien Gz sang editor, ketika menulis kisah ini. Itu sebelum saya sadar sudah mengacaukan rekam sejarah dan dimensi waktu dalam otak saya. 


Baiklah kita kembali ke novel, ya. Sastra karya Nizami Ganjavi, seorang penyair berbahasa Persia yang aslinya berjudul "Layla o Majnun" ini mengisahkan kasih tak sampai antara Qais (yang kemudian dikenal sebagai Majnun) putra Al-Mulawwah, seorang penguasa di Jazirah Arabia pada zamannya, dengan seorang putri bangsawan cantik jelita bernama Layla. Meskipun saling mencintai dan setia satu sama lain sampai akhir hayat, keduanya tidak pernah dapat bersatu karena ketiadaan restu keluarga Layla. Tentu saja perjuangan untuk mewujudkan cinta mereka telah dilakukan dengan sungguh-sungguh melalui cara damai antara keluarga, sampai peperangan tak terelakan yang memakan banyak korban kedua belah pihak hingga begitu menyayat hati Majnun. Melalui syair-syair yang menggetarkan hati, seraya  berkelana tak tentu arah, Majnun mengungkapkan perasaan-perasaannya. Syair-syair perjalanan cintanya yang menggugah siapa saja yang mendengarnya.

Nah, ditanya bagian yang paling saya suka dan berhasil membuat saya benar-benar menitikkan air mata adalah ketika Majnun melalui jasa seorang tua yang baik hati akhirnya berhasil bertatap muka dengan kekasih jiwanya yang lama terpisah darinya. Sebuah perpisahan yang sekian lama membuatnya menjadi 'gila' (Majnun). Sebuah titik yang menyatukan kerinduan, kepedihan karena perpisahan, penantian panjang, sekaligus kebahagiaan karena pertemuan nyata. Pada suatu titik di mana hanya membutuhkan sepuluh langkah untuk bisa menyentuh sang kekasih, Layla memilih berhenti. 

Layla berhenti, sodara-sodara..! Berhenti dan tidak penah menghampiri Majnun, kekasihnya. Layla menghentikan langkahnya dan mengucapkan kata-kata yang membuat hati saya yang membacanya jungkir balik sumpah-sumpah. Terhenyak heran, bertanya-tanya sekaligus dongkol. Cape deeehh. Eh Layla, mau loe apa sih?!

"...Hanya sejauh ini aku diperbolehkan melangkah, tidak lebih dari itu. Bahkan sekarang aku seperti lilin yang terbakar. Bila aku mendekati api, aku akan hangus seluruh. Kedekatan membawa bencana, dan para pecinta harus menghindarinya. Lebih baik sakit daripada setelah itu harus menahan malu karena menanggung perawatan setelah terbakar oleh gairah pertemuan. Kenapa meminta lebih? Bahkan Majnun, pecinta yang sejati. Tidak meminta lebih.."

Pecinta sejati tidak pernah meminta lebih. Adakah yang lebih mengharukan dari ini? Ya, perasaan saya berubah dari dongkol, mendadak jadi termehek-mehek. Akhirnya saya memahami Layla. Sebegitu agungnya cinta mereka sehingga pantaslah para Sufi dan penyair tanah Arab menginterpretasikan kisah ini sebuah metafora hubungan kasih antara hamba dengan Tuhannya. "Kedekatan membawa bencana" bagi Layla yang merepresentasikan sosok "Yang Terkasih" -Yang rahasia dan Tak Tersentuh- ingin membawa kita memahami bahwa cinta mereka yang tak sampai itu bukanlah sebuah kisah nahas.

Begitupun pertemuan mereka di surga yang seolah menyiratkan pesan mistis bahwa kenikmatan cinta 'dunia' yang fana bukanlah sebuah tujuan 'Cinta Sejati'. Sehingga "Penyatuan Sejati" itu hanya bisa digambarkan melalui pertemuan 'Surgawi'. Seorang pecinta sejati (hamba)tidak pernah bisa 'menyentuh' Sang Kekasih (Tuhan), namun meyakini 'Ia' selalu ada dalam dirinya, dalam surga yang jauh dari fananya dunia nyata. Setidaknya begitulah hasil perenungan lancang saya terhadap kisah ini. Maafin Marwan ya, Layla. Eh, maafin saya maksudnya.

Mungkin sah-sah saja kita mensejajarkan kisah ini dengan roman termasyur lain. Sebut saja Romeo dan Juliet-nya Shakespeare. Sama menguras air mata dan menyayat hati penikmatnya, namun lebih menonjolkan kesan tragedi dan penderitaan cinta. Bedanya, dalam kisah Layla-Majnun keterpisahan 'fisik' mereka merupakan representasi keagungan cinta itu sendiri. Sama sekali bukan tragedi. Tentu ini tidak lepas dari faktor latar belakang budaya di mana cerita ini tercipta. Jangan lupa, Layla o Majnun lahir dalam kultur asia timur, sedangkan Romeo Juliet ber-setting  budaya barat.

Maka pantaslah jika saya akan menyebut buku ini sebuah novel spiritual. Sambutlah nilai-nilai 'kasih' tertinggi dalam novel ini. Yang ketika membacanya membuat saya serasa melafal sebuah kitab suci cinta. Bersiaplah menjadi hamba, menjadi pecinta sejati.

NB. Kepada sang editor Pengantin Surga dan semua sastrawan-sastrawati di seluruh muka bumi, maafkan saya sudah mengacak-acak sebuah karya sastra tak ternilai dengan menceritakan kembali dan mengomentarinya dalam gaya tutur seorang Lisya yang kacau balau ini. 

Info buku:
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Penerjemah : Ali Nur Zaman
Penyunting : Salahuddien Gz
Pemindai Aksara : Muhammmad Bagus SM
Penggambar Sampu : Yudi Irawan
ISBN : 978-979-17998-3-6
Harga : Rp 45.000,- (254 hlm.)
Penerbit : Dolphin
Email : penerbitdolphin@yahoo.com
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Novel Pengantin Surga Juni 2012

Referensi:
Thread forum: http://www.skyscrapercity.com/showthread.php?t=1319587
Resensi Goodread: http:http://www.goodreads.com/book/show/15714336-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar