Kamis, 09 Agustus 2012

Gadis Pakarena, Menari dalam Kerasnya Irama Kehidupan

Menatap sepintas buku Gadis Pakarena dari covernya, apa yang ada dalam pikiran anda? ngaku aja deh. belum banyak orang betul-betul aware dengan kata Pakarena. Coba kalo judul bukunya "Gadis Jaipong" eaaa... pasti langsung ngeh kan?! Mungkin ini karena Pakarena tidak sepopuler istilah daerah lain yang lebih sering kita temui beradaptasi dalam karya-karya tulis maupun media informasi umumnya. Walaupun sebenarnya sampul bergambar memikat -wanita cantik berpakaian adat Bugis lengkap dengan aksesoris selendang dan kipas- sudah cukup mengisyaratkan 'seorang penari'.

Sedikit informasi, Pakarena adalah sejenis tarian asal Makasar, Sulawesi Selatan yang dalam penampilannya diiringi oleh 2 (dua) kepala drum (gandrang) dan sepasang instrument alat semacam suling (puik-puik). Hentakan tetabuhan Gandrang (alat musik yang mengiringi tarian Pakarena) yang penuh semangat dan dinamis mengiringi gemulai gerak tubuh para penari Pakarena. Sepintas kombinasi keduanya nampak tak seiring. Bahkan ketika irama tetabuhan kian kerap mencipta gemuruh, gerakan gadis-gadis berpakaian adat khas Makassar itu tetap lemah gemulai seolah mengalir sendiri tak terpengaruh irama Gandrang.

Sedikit mencari tahu makna di balik tarian ini. Saya menemukan bahwa kelembutan yang mendominasi kesan pada tarian ini, tampak merupakan cermin watak perempuan Bugis yang sopan, setia, patuh dan hormat pada laki-laki terutama pada suami.Sedangkan semaraknya hentakan tetabuhan Gandrang adalah tampilan sosok kaum pria Sulawesi Selatan yang dikenal keras.

Senin, 02 Juli 2012

Pengantin Surga : Spiritualisme dalam Metafora Percintaan Pecinta dan Yang Terkasih



Ketika menyampaikan berita baik kepada sang editor bahwa saya telah sukses jaya menyelesaikan tugas membaca tulisan 'berat' ini, tak pernah terbersit sedikitpun dalam benak saya akan ditodong komentar tentang novel ini. Oh, tunggu dulu. Saya jelas awam sastra. Apalagi tulisan yang bagi saya agung bin klasik ini. Secara, saya termasuk penggemar karya bergaya metropop. Dilema batin yang saya yakin pun akan melanda setiap insan muda metropolitan nan gaul seperti saya, jika dihadapkan pada kasus yang sama. So, ini pe-er (Pekerjaan Rumah) banget deh. 

Ditambah lagi waktu pertama disodorkan buku ini saya sempat dibuat 'down' dengan pesan sponsor,"Ini sastra terjemahan terbaik sepanjang masa loh, Ling. Digarap dengan proses editing yang mengerahkan seluruh kemampuan terbaik saya." Gitu kata sang editor dengan narsisnya. Dan saat itu saya cuma bisa nyengir pasrah. Kalah narsis. Tragis. Mati gaya. Halah..halah... 

Butuh kurang lebih 2 minggu sampai saya berani menyatakan diri selesai membaca novel sastra yang melalui Penerbit Dolphin kini lahir dalam judul Pengantin Surga. Dan, butuh ribuan menit untuk bisa menjawab todongan sang editor naskah dahsyat ini. Maaf saya rada lebay, pemirsa. Tapi sumpah deh, saya memang tidak berhasil menemukan 'keganjilan' yang biasa ditemui pada naskah-naskah terjemahan umumnya. Rasanya seperti Nizami Ganjavi sendiri yang menuliskannya kembali dalam Bahasa Indonesia..!! Tapi masalahnya, kapan Ganjavi belajar Bahasa Indonesia? Kadang entah kenapa saya sampai yakin, Ganjavi-lah yang kerawuhan Salahuddien Gz sang editor, ketika menulis kisah ini. Itu sebelum saya sadar sudah mengacaukan rekam sejarah dan dimensi waktu dalam otak saya.