Menatap sepintas buku Gadis Pakarena dari covernya, apa yang ada dalam pikiran anda? ngaku aja deh. belum banyak orang betul-betul aware dengan kata Pakarena. Coba kalo judul bukunya "Gadis Jaipong" eaaa... pasti langsung ngeh kan?! Mungkin ini karena Pakarena tidak sepopuler istilah daerah lain yang lebih sering kita temui beradaptasi dalam karya-karya tulis maupun media informasi umumnya. Walaupun sebenarnya sampul bergambar memikat -wanita cantik berpakaian adat Bugis lengkap dengan aksesoris selendang dan kipas- sudah cukup mengisyaratkan 'seorang penari'.
Sedikit informasi, Pakarena adalah sejenis tarian asal Makasar, Sulawesi Selatan yang dalam penampilannya diiringi oleh 2 (dua) kepala drum (gandrang) dan sepasang instrument alat semacam suling (puik-puik). Hentakan tetabuhan Gandrang (alat musik yang mengiringi tarian Pakarena) yang penuh semangat dan dinamis mengiringi gemulai gerak tubuh para penari Pakarena. Sepintas kombinasi keduanya nampak tak seiring. Bahkan ketika irama tetabuhan kian kerap mencipta gemuruh, gerakan gadis-gadis berpakaian adat khas Makassar itu tetap lemah gemulai seolah mengalir sendiri tak terpengaruh irama Gandrang.
Sedikit mencari tahu makna di balik tarian ini. Saya menemukan bahwa kelembutan yang mendominasi kesan pada tarian ini, tampak merupakan cermin watak perempuan Bugis yang sopan, setia, patuh dan hormat pada laki-laki terutama pada suami.Sedangkan semaraknya hentakan tetabuhan Gandrang adalah tampilan sosok kaum pria Sulawesi Selatan yang dikenal keras.
Lahir di Borongtammatea, Jeneponto- sekitar 89 Kilometer dari Makasar. Saat ini Khrisna Pabichara dikenal sebagai motivator sekaligus penulis. Di antaranya novel Sepatu Dahlan, Rahasia Melatih Daya Ingat, serta buku-buku neurologi. Buku Gadis Pakarena yang terbit awal Juli 2012 ini merupakan kumpulan cerpen berisi 14 Cerita Pendek berlatar adat Bugis-Makasar. Sebelumnya, karya ini pernah terbit dengan judul "Mengawini Ibu" yang masih berisi 12 cerita pendek.Tidak hanya berkisah, membaca buku ini mungkin membuat kita tanpa sadar memperoleh pengetahuan baru tentang budaya Makassar. Di sana-sini bermunculan istilah lokal yang tadinya mungkin asing di telinga kita.
Pada Cerpen Gadis Pakarena yang judulnya digunakan sebagai judul buku ini, merupakan kisah cinta sepasang kekasih. Adalah Kim Mei, seorang gadis keturunan Tionghoa telah memikat hati seorang putera Makassar.Kenangan demi kenangan tumbuh bersama cinta dan harapan yang tiba-tiba saja, dipaksa pupus oleh peradaban. Layaknya keluarga Montogue dan Capulet memisahkan Romeo dan Juliet karena permusuhan keluarga, demikian cinta mereka dikalahkan demi alasan ras-suku-agama dan adat yang berbeda. Saya masih tersenyum-senyum membaca betapa nekatnya si pria menyusul cintanya hingga ke tanah kelahiran pujaan hatinya, nun jauh di kota Wuhan daratan Tiongkok. Menggenapi janji yang dibuat tatkala mereka terpisah bertahun lampau.Meski kemudian secara tragis, nasib hanya berkenan merestuinya menemui pusara sang kekasih.
Kisah cinta sepasang kekasih yang berbalut tragedi juga dihadirkan dalam cerpen berjudul "Rumah Panggung di Kaki Bukit" dan "Silariang". Lagi-lagi karena perbedaan beralaskan adat, sepasang kekasih tidak bisa merangkai mimpi mereka bersatu dalam ikatan luhur sebuah perkawinan. Cinta terantuk pada mahar yang sedemikian mahal tidak mampu ditebus pihak pria yang hendak meminang. Dalam cerita "Rumah Panggung di Kaki Bukit", demi memenuhi syarat sang pria merantau mencari gelar dan harta. Sekembalinya ke kampung halaman, sang kekasih yang setia menunggu hingga berjuluk 'perawan tua' harus menghadapi kenyataan bahwa kekasihnya datang hanya untuk memperkenalkan istri yang dipinangnya dari kota. Sementara Silariang adalah istilah 'kawin lari' dalam adat makassar. Bagaikan kutuk, pihak keluarga pria maupun wanita yang melakukan Silariang menanggung aib yang hanya bisa ditebus dengan kematian sang pengantin. Itu pun jika mereka berhasil ditemukan suatu saat.
Beberapa cerita adalah lukisan watak pria Makasar yang keras serta benturan hati nurani dengan tuntutan adat terhadap peran seorang pria dalam masyarakat Bugis. Cerita "Ulu Badik Ulu Hati" mengisahkan balas dendam tak berkesudahan. Arajang bercerita seorang 'Calabai', lelaki yang menyerupai perempuan yang harus menghadapi ayah yang kecewa dengan 'kelainan' sang putera. "Laduka" yang merupakan seorang pria perantau merasa belum pantas pulang ke kampung halaman karena usahanya yang belum berhasil. Adapula "Haji Baso" yang mengisah mitos 'kulau bassi'sebagai benda yang mampu membuat penggunanya kebal terhadap serangan senjata musuh. Sementara "Mengawini Ibu" membuat kita terhenyak kaget, seorang anak tumbuh dengan menyaksikan kesetiaan sang ibu pada suaminya yang selalu membawa wanita selingkuhannya ke rumah. Pada akhirnya justru ia ketagihan menyetubuhi para 'ibu tiri' yang dibawa ayahnya.
Yang menarik, terdapat 4 (empat) cerita yang saling berkaitan satu sama lain. Yaitu "Selasar", "Lebang dan Hatinya", "Pembunuh Parakang",dan "Hati Perempuan Sunyi". Merangkai lengkap makna cinta dan kesetiaan, benci dan dendam kesumat serta kekejaman. Lainnya, "Riwayat Tiga Layar" dan "Dilarang Mengarang Cerita di Hari Minggu" saya kira pembaca boleh menyimpulkan keduanya adalah suara hati sang penulis. (ngetiknya sambil senyum-senyum, siap-siap diprotes penulis)
Sebenarnya ingin berbicara apakah kisah-kisah tragis dalam buku ini? Inilah pertanyaan yang timbul dalam benak saya kemudian. Saya ingat betul, ketika semasa sekolah dulu mendapat tugas mengarang cerpen, sang guru bahasa indonesia akan mewanti-wanti agar sebuah cerpen mesti memiliki setidaknya satu pesan moral. Seumpama dalam Gadis Pakarena Kim Mei berhasil bertemu kembali dengan kekasihnya, secara otomatis kita akan menarik kesan kesetiaan selalu memetik akhir yang indah. Kebaikan selalu mendapat ganjaran setimpal. Tapi kenyataannya tidak begitu. Saya bahkan menangkap kesan kesia-siaan. pengorbanan tanpa hasil. bahwa kita sering kali mendapati kenyataan tidak seperti harapan yang awalnya begitu romantis. Demikianlah irama hidup.
Secara keseluruhan, saya ingin sekali menyebut buku ini adalah kumpulan puisi panjang. Gaya bertutur seorang Khrisna Pabichara begitu mendayu-dayu layaknya bersyair. Uniknya, saya melihat benang merah antara tarian Pakarena dan isi buku ini. Layaknya Gadis Pakarena, Khrisna Pabichara 'menari' penuh penghayatan memaknai kisah demi kisah yang tergambar dalam setiap narasi. Gaya bertuturnya mengalun lembut, meski beriring irama kehidupan yang keras ini.
Info buku:
-----------------------------------------------------------
Penyunting : Salahuddien Gz
Penggambar Sampul : Yudi Irawan
ISBN : 978-979-17998-6-7
Harga : Rp 45.000,-
Tebal : 180 Halaman
Penerbit : Dolphin
Email : penerbitdolphin@yahoo.com
-----------------------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar